Sajak Pecundang

Aku pernah menjadi gelap saat semua teramat menyilaukan, menjadi korban keaadaan atas ketidaksanggupan memenuhi ekspektasi para tetinggi. Saat itu aku seperti hujan yang dikutuk manusia, padahal hanya berniat jatuh untuk menumbuhkan. Apa aku salah berada di sini? Jika kau berkata semua takdir Tuhan adalah kebaikan, mengapa kehadiranku tak kau perhitungkan sebagai salah satu darinya?

Aku pernah menjadi amarah saat mereka mengatasnamakan cinta, namun setiap aku mencipta sapa, mereka menghina. Bersumpah serapah atas nama kesucian, katanya aku adalah api yang membakar keadaan. Namun jika iya, mengapa mereka yang berkobar dalam perapian? Menghanguskan kayu menjadi abu, aku yang diam. Apakah kemunafikan atas keadaan semakin nyata dirasakan? Atau aku yang tak sadar dimana pijakan tempat kaki berdiri?

Aku pernah menjadi satu-satunya yang tak diinginkan, saat semua dianggap berguna, akulah si tolol yang mengemis-ngemis di depan pusara keadilan. Dimana aku harus berjalan! Mengapa semua menenggelamkan sampai aku tak mampu bernafas dan bertahan. Mengapa semua menamparku bergantian sambil tertawa atas tangisku yang tak berair mata? Bunuh aku wahai rasa, jika kata para pujangga yang handal merangkai aksara, cinta mampu membunuh, bunuh rasaku, cinta! Bunuh! Buat aku mati rasa.

Dahulu saat aku masih seonggok darah daging kecil ayah bunda, berharap cepat dewasa, yang kutemukan malah perpisahan mereka berdua, rangkai kisah yang terbangun kandas oleh nyata, kini semua terkenang begitu pedih seiring teguk terakhir segelas hangat intisari di depan teras rumah yang debunya setebal memori saat aku terbang pada ayunan dengan tawa mereka.

Kini aku beranjak dewasa, yang ada di depan telinga hanya teriakan kata “kau tak berguna!”, dahulu mereka yang kerap menitip harap lewat senyumku agar kelak dewasa menjadi orang ber-ada, kini malah menjadi bumerang yang menyayat habis mimpi. Mataku sayup lemah, kesadaranku kian hilang, muncul pertanyaan yang menggerogoti pikiran, “ayah, bunda.. apakah aku seorang pecundang?” namun saat aku sakau akan jawaban, kehadiran mereka hanyalah sebuah ilusi yang di buat pil penerbang.

Aku tertawa, aku menangis, kemudian aku tertawa kembali. Lalu tersadar sudah berada di bawah jembatan. Dengan penuh luka lebam, di hati, lagi.

Tinggalkan komentar