Sabda Semesta

Kepada siapa aku berkata
Kepada siapa terima cerita
Kepada sawah yang dirundung kesepian
Kepada sungai kecil berombak air mata

Di kala mega telah reda menunjukkan senja, maka mengalirlah angin merenda-renda
Terlihat sangka menyangka sangkakala, meniup tanda hari telah menguap ke semesta.
Sedangkan aku masih disini menunggu peraba

Menerka sketsa tanpa keras kepala, tak mengangguk tanda formalitas belaka.
Kepada mereka yang mengaku jernih hidupnya dan, saksi-saksi yang mencintai sakitnya siksa.
Aku menunggu untuk menuturkan kisah, namun malam membisu tak tertarik bahasa.

Aku masih diam mendengarkan suara serangga bernyanyi tanda selesai hujan menyiram kita, tanda alam masih sayang kepada manusia.
Namun tidak untukku yang dihakimi oleh mereka

Alam masih derita hilang kesuciannya
Bersamanya, aku menangis ditengah merebaknya jelaga, sedang cerita tak lagi ada makna.
Sekitarku tertawa, menuntutku ceria.
Kepada siapa lagi aku mengungkap kata?

Mengapa?
Merasa bingungkah engkau dengan semua?
mengapa?

Aku bahkan belum bersenandung, layaknya katak memanggil hujan.
Layak kah aku memanggil kebahagiaan?

Cerita telah habis maknanya dan mereka pun bahagia di alam persaksian.
Aku bahkan harus menyaksikan alam mereka dengan diam dan ratapan.

Apa ada yang salah?
Atau memang terciptanya diri harus merasa diam dan terus mengutuk diri bersalah?

SELAMAT TIDUR

“Selamat tidur,” bisikku, tersenyum.

Kamu tak akan mendengarnya langsung dari bibirku, aku mengerti. Namun, kutahu kamu sedang akrab dengan alam malam ini. Maka pesan ini kutitipkan pada alam, yang kuyakini mampu membahasakannya sedemikian rupa supaya ia tetap bisa sampai padamu.

Barangkali alam akan menyampaikannya padamu lewat angin yang menyapu kulitmu; atau lewat selimut yang memeluk hangat tubuhmu;
atau lewat api unggun yang menggelora di depan matamu saat langit redup;
atau lewat mereka yang tengah menemanimu;
atau mungkin pula, lewat mimpi yang terselipkan dalam lelapmu.

Masalah cara, kuserahkan semuanya pada alam. Biarlah ia yang menentukan bagaimana caranya. Tidak perlu muluk-muluk. Tidak perlu sampai kamu sebaliknya memikirkanku. Yang kuinginkan hanyalah agar kamu bisa merasakan apa yang kumaksud—kebahagiaan tanpa jeda yang kutemukan saat kutahu kamu ada di dunia. Itu saja.

—yudh

Ketika Aku Memilih dan Mempercayaimu

Mungkin aku orang baru dalam hidupmu. Semesta mempertemukan kita lewat cara yang tak pernah kuduga sebelumnya, tanpa aba-aba namun waktu menghadiahkan sabarku untuk mengenalmu dan semua duniamu.
Hatiku begitu saja tertarik pada hal-hal masa kelammu
Meski tak jarang di dalamnya terselip kelucuan kita.

Aku telah memilihmu untuk kutempatkan dan kujaga dalam ruang yang begitu luas yang selalu berisi ingatan tentang kita pada keinginan keinginan di depan sana.

Aku mepercayai pada apa yang ada dalam dirimu, pada apa yang telah kau beri untukku: hatimu. Maka, Izinkan aku menjadi yang terlama dan selamanya bagimu. Sebab ada langkah yang harus kutuju agar kelak, tangan kita erat oleh janji yang sakral.

Aku pun paham, halangan selalu menanti di depan. Kesulitan sudah siap memberi ujian, dan kesempatan masih saja rapat tersimpan. Ketika aku tengah melangkahkan kaki di jalan—menuju hatimu sebagai bandar pelabuhan. Tempat semua harap dan penatian.

Ketika resah melanda lelah pada masing masing diri kita. Aku tetap berusaha meyakinkanmu bahwa keinginanku tak akan berubah, tak pernah berhenti begitu saja untuk tetap beridiri di sampingmu. Setidaknya melindungimu ialah tugas muliaku untuk tetap selalu ada untukmu.

Belum seberapa memang, tapi aku menikmati setiap prosesnya. Mengikuti alur kemana semesta membawa kita pada hal-hal yang semestinya—aku denganmu di antara jingganya yang perkasa.

Tunggu dulu. Jangan dulu menghilang jika akhirnya kau harus kembali ku kenang. Tetaplah berada di situ biarkan sepasang lengan menuntun kita pada kepastian tanpa ada hati yang harus pulang.

Biarkan. Kehangatan selalu ku jalarkan walau kadang kita bersikeras ingin selalu diprioritaskan. Kita saling salah paham saat kecewa meredupkan perasaan.
Biarkan aku tetap bertahan, bukan dengan maksud lain, sebab memang ku jadikan kau akar yang tumbuh di pohon kehidupan—aku dan hatimu.

Kutitipkan begitu dalam jiwaku agar kau tak perlu khawatir mencari seseorang yang baru.
Kujaga setiap doa dan harapan kita untuk semakin menyatu dan mengisi rasa percayamu.

Jadikan aku sebagai pijakan terdepan. Kelak nanti kau mampu melewati terjal yang curam dan duri yang tajam. Saat kau begitu kuat menggenggam—aku tanpa adalagi luka yang kau pendam.

ANONIM

Kini aku hidup di Bulan yang berwarna kuning. Bulan ini sesungguhnya berwarna keemasan, namun telah pudar sebab adanya aku yang berpindah membawa syair serta ratapan penghianatan.

Sebelumnya, di Bulan berwarna merah tua aku pernah hidup. Selama beratus malam, menghabiskan dingin dan melahap gigil sembari beradu rindu dengan kerlip yang mengintip dari matamu.

Belasan malam denganmu aku baik-baik saja. Tak ada yang aneh. Semua keinginan terkabul. Harapan pun sesuai rencana.

Puluhan malam kau giat memberiku peluk dan kecupan. Semakin tak terasa dingin yang setiap waktu membekuk tubuhku. Semesta indah. Bak tak ada lagi yang miliki kebahagiaan selain kau maupun aku.

Ratus malam awal, kau mulai berlaku acuh pada gigilku. Membiarkan desau angin menggerayangi celah-celah pori. Nadiku nyaris henti. Namun pagi masih hidup. Masih mampu memberi hangat walau sesaat.

Ratus kedua kau hendak pergi. Langkahmu melambat. Kau kehilangan arah tujumu. Dan aku, kehilangan separuh hati yang seharusnya tak kau bawa lari.

Hingga ratus malam yang kesekian, kau benar-benar hilang. Membawa segalanya yang aku butuhkan. Membakar habis seluruh perasaan sampai tak bersisa. Amarahmu melebihi panas matahari siang. Aku mengumpat. Bulanku tak lagi merah. Bulanku berubah air mata dan darah.

Aku pun memutuskan pergi. Mencari tempat sembunyi untuk sendiri. Dan kutemukan Bulan sunyi berkilau keemasan. Aku berhenti disana dan memutuskan untuk tinggal.

Namun, baru saja beberapa malam aku tinggal, kau datang lagi mengendarai bintang yang dulu sempat kita debatkan. Kau ingin ikut tinggal tanpa membawa sehelai rindu pun. Dan aku harus menerimanya?

Lebih baik aku pergi lagi. Dan kau boleh saja tinggal disini sesukamu. Aku akan meminta awan untuk mencarikanku Bulan yang tidak memiliki nama maupun warna. Agar tak kau temukan aku lagi di dalamnya.

Merdeka Atau Utang

Ditanah ini sinar fajar telah redup, kemerdekaan telah kusam compang-camping tergeletak disamping merah putih yang hanya sebagai penghias dinding kamar.

O.. bingkai kemanusiaan yang retak

O.. rezim pancaroba

Riuh televisi yang masih menyala, kabarkan berita, dan disana penguasa dengan lantang berkata;

“MERDEKA!!!”

Di ujung cakrawala, di bawah pancar bulan purnama, yang merangsek masuk melalui celah-celah atap rumah, kita masih tetap gelisah dan bertanya;

“Benarkah kita merdeka?”

Lihatlah, mereka yang terpinggirkan

Potret orang-orang miskin tersungkur di dinding-dinding kamar

Televisi dan koran menyiarkan beritatentang kelaparan anak zaman

Mereka memungut sisa-sisa makanan dari selokan

mereka merebah diatas kertas-kertas koran bekas

Sedangkan penguasa yang acap kali menyuarakan kemerdekaan, hanya saling menghujat dan menuding demi kepentingan pribadi.

Merdeka?

Kata siapa?

Yang ada hanya dongeng penghantar tidur mereka yang terlelap di jalanan.

WAKAF PERASAAN

Hari itu, ketika pertengahan Magrib menemui Isya aku berada di depan bangunan jalan Mas Tumapel, tempatnya tak jauh dari Balai Kota.
Lalu lalang kendaraan pun masih sibuk dengan bisingnya, namun aku tak terlalu memperdulikannya.
Sebab telingaku telah kusediakan untuk mendengar bagaimana kesibukan dia setiap harinya.

Aku rindu jika setiap kali melewati jalan Veteran, aku rindu melihat sikapnya yang seringkali pura-pura biasa saja. Aku rindu yang menjadikan hari ini tak seperti biasanya. Dan aku pun semakin rindu ketika patah hati yang dengan kenyataannya Ia tak melakukan apa-apa.

Puan, adzan Isya Masjid Agung Baitur Rohman ini suaranya begitu menenangkan. Aku ingin mengajakmu kemari, meskipun hanya sekadar menertawakan anak-anak yang tengah berlari-lari. Atau bisa juga pembicaraan kita lebih serius lagi, maksudku seberapa lama lagi: aku pantas kamu panggil suami.

Maaf jika aku selancang ini, rinduku memang tengah tak terkendali semacam banjir kiriman di Kota ini tempo hari. Namun yang jelas aku berharap bisa mengajakmu berkeliling ke tempat-tempat seperti ini.
Tempatnya menentramkan khususnya bisa senantiasa mengingat Tuhan.

Puan, juru parkir disini pun ramah-ramah. Apalagi pengunjung yang sempat ikut beribadah, aku berbincang banyak dengannya, katanya tidak ada yang lebih nikmat ketika seharian penat, lalu beristirahat untuk menunaikan sembahyang dan bersiap-siap pulang menemui seseorang yang di sayang.
Aku mendengarnya sedikit geli, sebab paman itu berbicara seakan lupa bahwa ubannya sudah menjadi.

Tapi begitulah cinta, tak mengenal usia.
Seperti rasa cinta yang berada di dalam dada, entah di balasnya masih berumur panjang. Atau mungkin tak lama lagi kamu akan bersedia membalasnya.
Aku tetap menantikannya, semoga kamu baik-baik saja disana. Seperti aku yang baik-baik saja mencintaimu dengan semestinya.

Mari kencan dengan tidak elegan

Mari kencan dengan tidak elegan.

Melanggar semua anjuran dan artikel di internet tentang panduan kencan ideal.

Mari memakai baju seadanya, bergaya alakadarnya, sambil makan pala pendem yang kita bawa dari rumah. Mari duduk di tepi jalan, berbagi sepanci kolak kacang hijau atau nongkrong lucu sambil menyeruput jamu gepyok, sari gadung, ataupun beras kencur.

Mari kencan memakai vespa tua, lupa membawa mantel saat awan mendung bergelayut manja. Mari pulang kehujanan, basah kuyup sepanjang perjalanan. Aku ingin disambut omelan ibumu, yang katanya lebih pedas dari mie petir level 666.

Mari kencan dengan tidak elegan, bertemu Pol-PP yang memergoki kita saat berduaan. Keliling kota panas-panasan sampai masing-masing dari kita bau asap kendaraan. Temani aku jajan buku, temani aku membanding-bandingkan barang diskonan.

Mari mengunjungi pasar malam, berdebar ketakutan sewaktu dekat tong setan. Kecopetan. Kehabisan bensin. Sampai vespa mogok tengah malam dan nggak ada yang bisa benerin.

Mari kencan dengan tidak elegan, lalu biarkan aku mencintaimu dalam segala ketidakberuntungan. Sebab aku sudah memilih untuk mencintai semuamu, dalam lantang dan diam, membanggakan dan memalukan.

Hikayat Selembar Kertas Kosong

Usang, kosong, lusuh. Setengah hancur, aku terpisah dari kawanan sejak beberapa minggu yang lalu. Tak ada yang bisa aku lakukan selain tergeletak pasrah di antara tumpukan buku-buku tebal menyebalkan. Sebagian tubuhku tertimpa bejana tua berisi ampas kopi. Mungkin dia lupa atau malas menyimpanku pada tempat seharusnya.

Hari ini Rabu dini hari. Aku menatapnya sedang sibuk menghisap rokoknya. Tak lama kemudian, dia menarikku dan disodorkannya tubuhku keluar dari kamar kecilnya lewat sela-sela teralis jendela. Aku dipilih karena mungkin hanya tubuhku yang masih kosong diantara yang lainnya.
Dia menyuruhku untuk merekam dan menyimpan sedikit temaram malam ini.

Bintang ramai bercakap-cakap
Serangga kecil asyik bernyanyi
Tak ada rintik hujan yang turun malu-malu seperti beberapa bulan yang lalu
Malam ini cerah, amat cerah.

Aku kembali diletakkan ke atas meja. Dia menatapku sejenak. Sebatang rokok di tangan kirinya telah habis terbakar. Diambilnya sebuah pena dan digoreskan pada tubuhku. Dia menuliskan tentang hal yang membuatnya setengah gila, tentang apa penyebab rindu, tentang apa yang disebut cinta. Mungkin hanya tubuhku yang tertuliskan kata cinta diantara yang lainnya. Tak seperti biasanya dia menulis tentang cinta.

Dia mencurahkan semuanya kepadaku.
“Dari mana sejagat rasa ini lahir?”

Tumbuh walau tak berakar
Terbang sekalipun tak bersayap

Logika tak kuasa bersuara
Dialektika seakan percuma sahaja
Semua rumit ketika bersentuhan dengan cinta.

Karena dia paham, apa yang ada padaku akan hidup selamanya. Apa yang ada padaku tak akan pernah habis terkikis waktu. Berangkat dari itu, seketika tubuhku dibanjiri barisan aksara, aksara, demi aksara yang berbaris membentuk kata dan kata. Disuruhnya aku untuk menyampaikan betapa damainya malam ini untukmu.

“Akulah yang mencintaimu tanpa alasan, dan setia menanti jawaban tanpa ada bosan”

Lihat aku, lihatlah aku.
Sementara..
Biarlah hatimu membisu sejenak dalam sunyinya waktu.

Lihat aku, inilah aku,

sepucuk kertas pembawa temaram rindu dari tuanku untukmu.

Sajak Pecundang

Aku pernah menjadi gelap saat semua teramat menyilaukan, menjadi korban keaadaan atas ketidaksanggupan memenuhi ekspektasi para tetinggi. Saat itu aku seperti hujan yang dikutuk manusia, padahal hanya berniat jatuh untuk menumbuhkan. Apa aku salah berada di sini? Jika kau berkata semua takdir Tuhan adalah kebaikan, mengapa kehadiranku tak kau perhitungkan sebagai salah satu darinya?

Aku pernah menjadi amarah saat mereka mengatasnamakan cinta, namun setiap aku mencipta sapa, mereka menghina. Bersumpah serapah atas nama kesucian, katanya aku adalah api yang membakar keadaan. Namun jika iya, mengapa mereka yang berkobar dalam perapian? Menghanguskan kayu menjadi abu, aku yang diam. Apakah kemunafikan atas keadaan semakin nyata dirasakan? Atau aku yang tak sadar dimana pijakan tempat kaki berdiri?

Aku pernah menjadi satu-satunya yang tak diinginkan, saat semua dianggap berguna, akulah si tolol yang mengemis-ngemis di depan pusara keadilan. Dimana aku harus berjalan! Mengapa semua menenggelamkan sampai aku tak mampu bernafas dan bertahan. Mengapa semua menamparku bergantian sambil tertawa atas tangisku yang tak berair mata? Bunuh aku wahai rasa, jika kata para pujangga yang handal merangkai aksara, cinta mampu membunuh, bunuh rasaku, cinta! Bunuh! Buat aku mati rasa.

Dahulu saat aku masih seonggok darah daging kecil ayah bunda, berharap cepat dewasa, yang kutemukan malah perpisahan mereka berdua, rangkai kisah yang terbangun kandas oleh nyata, kini semua terkenang begitu pedih seiring teguk terakhir segelas hangat intisari di depan teras rumah yang debunya setebal memori saat aku terbang pada ayunan dengan tawa mereka.

Kini aku beranjak dewasa, yang ada di depan telinga hanya teriakan kata “kau tak berguna!”, dahulu mereka yang kerap menitip harap lewat senyumku agar kelak dewasa menjadi orang ber-ada, kini malah menjadi bumerang yang menyayat habis mimpi. Mataku sayup lemah, kesadaranku kian hilang, muncul pertanyaan yang menggerogoti pikiran, “ayah, bunda.. apakah aku seorang pecundang?” namun saat aku sakau akan jawaban, kehadiran mereka hanyalah sebuah ilusi yang di buat pil penerbang.

Aku tertawa, aku menangis, kemudian aku tertawa kembali. Lalu tersadar sudah berada di bawah jembatan. Dengan penuh luka lebam, di hati, lagi.

Cinta Memang Buta

Kecuali oleh kematian, tidak ada orang yang bisa direbut.

Tidak ada hubungan yang berpisah hanya karena ada pihak lain yang menggoda.

Ia meninggalkanmu,

lalu berlindung di balik seorang yang baru padahal ia saja yang tak bisa menahan nafsu.

Sedari awal ia tidak setia, diam-diam mencari peluang mana yang lebih menguntungkan.

Sedari awal kau sudah dibohongi mentah-mentah, tidak akan ada perselingkuhan tanpa niatan.

Kau marah, menyalahkan pihak yang datang belakangan. Mengutuk perbuatannya yang datang sampai kau ditinggalkan. Penghianatan katamu!!! 

Amarahmu membuncah, sampai lupa. Bila yang lebih kurang ajar adalah mereka yang kau bela, yang memelukmu dan mengumbar kata cinta tetapi sadar bila itu bohong belaka, tidak berhenti dan menjaga jumlah anggota hubungan tetap dua, bukan tiga.

Seseorang tidak bisa direbut,

ia hanya pengecut.